Dari atas,
Republic of Kiribati, sebuah negara kepulauan di tengah-tengah
Samudera Pasifik, tampak seperti mengambang di atas laut. Dari sekitar 100 ribu penduduk, hampir separuh atau sekitar 40 ribu tinggal di satu pulau dari 33 pulau yang ada di negara itu, yakni South Tarawa.
Yang jadi masalah, secara geografis, rata-rata ketinggian daratan negeri tersebut hanya sekitar 1,98 meter. Tanpa bantuan
pemanasan global sekalipun, dataran sudah terancam, demikian pula pasokan air bersih untuk minum.
Untuk itu, kekhawatiran seputar perubahan iklim sangat terasa di negara tersebut. Meski baru perkiraan kasar, akibat pemanasan global, sejumlah
ilmuwan memprediksi bahwa ketinggian air laut diperkirakan akan naik hingga hampir satu meter di akhir abad ini.
“Pemanasan global dan kenaikan permukaan laut akan memusnahkan negara-negara seperti Kiribati,” kata Anote Tong, Presiden Kiribati pada sebuah pertemuan badan dunia PBB yang membahas seputar iklim global. “Hal itu bisa terjadi dalam 50 tahun ke depan,” ucap Tong, seperti dikutip dari
NPR, 17 Januari 2011.
Saat ini, warga Kiribati menyatakan bahwa mereka sudah merasakan perubahan di alam sekitar.
“Kini kami sudah jarang mendapatkan
musim hujan,” kata Akka Rimon, Wakil Menteri Tenaga Kerja. “Setelah itu, negeri ini menjadi sangat kering dan panas. Krisis air terjadi, air menjadi asin dan payau.”
Selain musim panas yang semakin panjang, negara tersebut juga telah mengalami perubahan lain. “Air laut kini sudah mencapai jalanan bahkan ke kawasan pemukiman penduduk,” kata Ata Merang, penduduk South Tarawa yang merupakan pulau utama Kiribati. “Di pulau North Tarawa, ombak laut terus menghancurkan tanaman di lahan pertanian. “Kubis, tomat, mentimun, semua musnah,” ucapnya.
Di Abaiang, salah satu pulau terluar Kiribati, dulu terdapat sebuah pemukiman penduduk bernama Tebunginako. Kini pulau itu tidak ada apa-apa lagi selain pohon kelapa yang sudah mati dan bekas-bekas dinding yang hampir runtuh.
“Sekitar 35 tahun lalu, beberapa ratus kepala keluarga tinggal di kawasan itu. Namun laut mulai membanjiri perkampungan. Tanaman dan persediaan air minum habis,” kata Aata Maroieta, warga setempat yang telah mengungsi ke pulau lain. “Akhirnya badai besar datang dan melenyapkan kehidupan di sana.”
Peneliti belum dapat memastikan bahwa masalah yang melanda kawasan tersebut diakibatkan oleh perubahan iklim. Catatan sejarah menyebutkan bahwa ada faktor lain seperti populasi berlebih dan konstruksi bangunan, yang juga berperan penting dalam musnahnya kawasan itu. Namun demikian, tetap saja, perubahan iklim, khususnya ketinggian permuakaan laut sangat mempengaruhi keberadaan negeri tersebut. (kd)
• VIVAnews
0 komentar:
Post a Comment
Coment dengan bahasa yang baik dan sopan yah, jangan lupa kirimkan kritik dan saran-nya, terima kasih...
**Salam Blogger**