Satelit senilai US$ 424 juta (Rp 3,7 triliun) itu terlalu berat untuk mencapai orbit dengan penutup hidungnya masih menempel dan terjun ke Samudra Pasifik Selatan. Peristiwa ini membuat para teknisi heran.
"Kami tidak menemukan keanehan menjelang peluncuran," kata Direktur Peluncuran NASA Omar Baez kepada wartawan.
Yang jelas, beberapa menit setelah peluncuran, pemisahan tutup pelindung itu tidak terjadi.
"Kami tidak melihat indikasi kegagalan pemisahan," kata Baez. "Kami gagal melakukan orbit dan semua indikasi menunjukkan satelit dan roket berada di suatu tempat di Samudra Pasifik bagian selatan."
Peluncuran satelit - yang memiliki misi untuk mengukur aerosol di atmosfer bumi guna membantu menjelaskan dampaknya terhadap iklim - ditunda pada 23 Februari setelah masalah di kendali kontrol 15 menit sebelum meluncur.
Pada hari Jumat ia meluncur dari Vandenberg Air Force Base di California dengan roket empat tahap Taurus-XL jam 2:09 (10,09 GMT), tapi NASA segera melaporkan bahwa ia melambat dan tidak akan mencapai orbit.
Kecelakaan serupa terjadi pada Februari 2009, ketika sebuah satelit yang dirancang untuk memantau emisi karbon dioksida global jatuh ke laut di dekat Antartika setelah gagal mencapai orbit.
Satelit Glory memiliki berat 528 kilogram dan membawa dua instrumen utama, Aerosol Polarimetry Sensor dan Total Irradiance Monitor yang diarahkan pada Matahari.
TEMPO Interaktif
0 komentar:
Post a Comment
Coment dengan bahasa yang baik dan sopan yah, jangan lupa kirimkan kritik dan saran-nya, terima kasih...
**Salam Blogger**